BAHASA IBUKU
ADALAH BAHASA DAERAHKU
Oleh Dudih Sutrisman, S.Pd.
Wilayah Indonesia
yang terdiri
atas kurang lebih 13.000 pulau, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga
Pulau Rote memiliki keanekaragaman suku, ras, agama dan kebudayaan yang
berbeda, namun itu semua menjadi penguat identitas nasional sebagai sebuah Nation. Koentjaraningrat (1998, hlm. 5),
menyebutkan bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah Bahasa.
Jawa Barat memiliki tiga bahasa
daerah yang diakui dan diatur dalam Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 5 tahun
2003 yang kemudian diubah dalam Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 14 tahun 2014
tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah, bahasa daerah yang
dimaksud adalah Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon dan Bahasa Melayu Betawi. Bahasa
Daerah berdasarkan peraturan daerah tersebut memiliki pengertian sebagai bahasa
yang digunakan secara turun temurun oleh Warga Negara Indonesia di
daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah turun
temurun mengandung arti bahwa bahasa tersebut diwariskan dengan pola orang tua
ke anak dan seterusnya. Hal demikian erat kaitannya dengan definisi Bahasa Ibu,
sebagaimana dipaparkan oleh Ali (1995, hlm. 77) yang mengatakan bahwa bahasa
ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui
interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan
masyarakat lingkungan. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikenalkan dan
dikenali kepada anak oleh orang tuanya dalam kehidupan keluarganya.
Seiring dengan perkembangan zaman,
saat ini banyak orang tua yang mengenalkan bahasa pertama kepada anaknya dengan
menggunakan bahasa lain selain bahasa daerah. Hal ini disinyalir terjadi sebab
anak-anak yang lahir pada generasi milenial banyak yang kurang memahami bahasa
daerahnya, sebab mereka hanya diajarkan bahasa daerah di sekolah saja,
sedangkan di lingkungan keluarganya bahasa daerah tidak dipergunakan. Hal
tersebut menurut penulis diakibatkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan
satu sama lain yakni, (1) pengaruh bahasa mayoritas, bahasa mayoritas
yang saat ini dipergunakan oleh masyarakat pada umumnya adalah bahasa resmi
nasional negara kita, bahasa Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam
lingkungan terkecil (keluarga) tidak diimbangi oleh penggunaan bahasa
daerahnya. (2) kondisi masyarakat penuturnya yang dwi bahasa atau bahkan banyak
bahasa, dalam artian seorang penutur mampu menggunakan dua bahasa atau lebih,
namun posisinya adalah lebih mengutamakan bahasa nasional dan bahasa
internasional, bahasa daerah ditempatkan prioritasnya setelah dua jenis bahasa
tersebut (3) faktor globalisasi atau kesejagatan, hal tersebut secara langsung
maupun tidak langsung telah mendorong masyarakat untuk berinteraksi dengan
menggunakan bahasa yang dapat menjadi alat komunikasi secara internasional,
dengan kata lain adalah bahasa Inggris. Banyak orang tua yang kini mendorong
bahkan menuntut anaknya untuk menguasai bahasa Inggris dibanding bahasa
daerahnya, hal ini secara perlahan mempengaruhi persentase pemakaian bahasa
daerah seorang penutur menjadi lebih kecil karena tergeser oleh bahasa Inggris
yang persentase penggunaannya lebih besar. (4) faktor migrasi, migrasi penduduk
yang begitu sulit dibendung pun turut menjadi faktor yang mempengaruhi
berkurangnya penggunaan bahasa daerah sebab masyarakat yang berasal dari daerah
dan suku yang berbeda kemudian tinggal pada lingkungan yang sama akan secara
otomatis ketika berinteraksi mereka tidak akan menggunakan bahasa daerahnya
melainkan bahasa Indonesia. hal itu pun akan berpengaruh saat individu
bersangkutan kembali ke daerah asalnya, ia akan menggunakan bahasa yang digunakannya
saat di perantauannya. (5) perkawinan antar suku. Ketika dua individu yang
berasal dari kebudayaan yang berbeda memutuskan untuk menikah, maka dipastikan
mereka akan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pasangannya, tidak akan
memaksakan penggunaan bahasa daerahnya. Hal itu pun akan diturunkan kepada
keturunannya. (6) kurangnya rasa bangga terhadap bahasa daerahnya. Hal ini
terjadi sebab generasi muda saat ini cenderung menganggap bahwa ketika
menggunakan bahasa daerah itu “kampungan” dan tidak bergengsi, sementara ketika
menggunakan bahasa lain (seperti bahasa Indonesia, atau bahasa asing) dianggap
lebih keren dan moderen serta tidak “kampungan”. (7) kurangnya interaksi
keluarga dengan menggunakan bahasa daerah, hal ini terjadi karena orangtua
jarang menggunakan bahasa daerah dalam percakapan komunikasi di dalam
lingkungan keluarganya sendiri sehingga proses alih-kebahasaan lintas generasi
terhenti. (8) faktor ekonomi, banyak penutur bahasa daerah yang lebih sering
menggunakan bahasa lain dengan maksud dan motof ekonomi tertentu seperti untuk
memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak, sebab saat ini banyak pekerjaan
yang mensyaratkan harus menguasai bahasa Inggris. (9) faktor bahasa Indonesia,
keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara otomatis bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar dalam acara-acara kenegaraan dan di lembaga-lembaga pendidikan.
Pengaruh bahasa Indonesia yang sangat kuat ini telah menyebabkan bahasa-bahasa daerah
mengalami pergeseran, Bahkan sebagaimana dikuti Gunarwan (2006, hlm. 96) bahwa bagi
banyak orang Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa primer sehingga
tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, menggeser bahasa
daerah.
Melihat faktor-faktor tersebut, maka
sudah selayaknya kita menggeser kembali paradigma terkait dengan pentingnya
pemertahanan bahasa daerah sebagai bahasa Ibu dengan mulai mengefektifkan
kembali penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
lingkungan keluarga, peran orang tua menjadi ujung tombak yang paling
menentukan. Walaupun dari segi pendidikan formal, Jawa Barat sudah memiliki
Peraturan Gubernur Nomor 69 tahun 2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa
dan Sastra Daerah Pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai
dasar hukum pelaksanaan pembelajaran bahasa daerah di persekolahan, tetap
lembaga yang paling mempengaruhi bertahan tidaknya suatu usaha pemertahanan
bahasa daerah ini adalah keluarga di rumah. Intensitas penggunaan bahasa daerah
di lingkungan keluarga adalah jawaban untuk kembali mendudukkan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu, anak-anak sejak lahir mesti dikenalkan bahasa yang pertama
kalinya adalah bahasa daerah. Kita harus memahami kutipan pepatah masyarakat
Sunda yang berbunyi “Basa teh Ciciren Bangsa, Ilang Basana, Ilang Bangsana”
yang mengandung arti ketika bahasanya sudah hilang maka bangsanya pun akan
punah. Ini adalah menjadi tugas bersama untuk mempertahankan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu.
SELAMAT HARI AKSARA INTERNASIONAL!
SELAMAT HARI AKSARA INTERNASIONAL!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar