Oleh Dudih Sutrisman
“Memang
politik menyangkut hidup kita, tapi tak boleh menenggelamkan kita”
(Goenawan Mohamad)
Cirebon sebuah kota di pantai utara jawa yang didirikan
oleh Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana merupakan sebuah kota pantai
yang unik, dilihat dari sisi kebudayaan dan kultur masyarakatnya. Sebagai salah
satu wilayah dalam provinsi Jawa Barat yang memiliki budaya yang khas dan
berbeda dengan budaya masyarakat jawa barat lainnya yang kuat kultur
kesundaannya, Cirebon punya budaya dan bahasa tersendiri mengingat wilayahnya
yang merupakan perbatasan antara wilayah berbudaya Sunda dengan wilayah
berbudaya Jawa.
Di Cirebon pula budaya keraton masih kuat dimana
eksistensi Keraton-keraton eks-kesultanan Cirebon dimasa lalu masih mengakar
pada budaya politik dan sosial masyarakatnya. Keunikan yang dimiliki kota ini
menjadi nilai plus bagi sektor
pariwisatanya.
Keunikan tersebut ternyata tidak membuat segelintir
orang Cirebon serta merta merasa diperhatikan oleh pemerintah Jawa Barat dalam
hal pembangunan. Namun jika dibandingkan dengan daerah jawa barat lainnya, kita
dapat melihat fakta bahwa perkembangan Cirebon cukup signifikan dalam segi
pembangunan sebagai sebuah kota besar di Jawa Barat.
Sebagai bagian dari Jawa Barat, Cirebon pun turut
berdinamika dalam pesta demokrasi rakyat Jabar yakni Pemilihan Gubernur Jabar
yang akan dilaksanakan pada 2013 mendatang. Parpol sudah mengumumkan para
jagonya, KPU pun sudah menutup pendaftarannya, banyak nama tersingkir dalam
bursa cagub-cawagub ini akibat tidak mendapatkan rekomendasi dari parpolnya.
Dedi Supardi adalah salah satu dari Cagub yang gagal bertarung dalam pilgub
jabar, setelah parpolnya ketuk palu merekomendasikan calon lain untuk maju
menjadi Jabar satu.
Tersingkirnya Dedi Supardi yang merupakan Bupati
Cirebon ini ternyata kembali menguak wacana pembentukan Provinsi Cirebon,
dimana beliau menegaskan bahwa ia akan memfokuskan dirinya pada pembentukan
provinsi Cirebon pasca kegagalannya bertarung dalam pilgub jabar. Provinsi
Cirebon yang dalam masterplan-nya
akan mencakup wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan
(Ciayumajakuning) ini merupakan sebuah wacana yang sempat santer terdengar dan
menjadi headline media massa lokal
Jawa Barat namun meredup seiring dengan beragam program pembangunan pemerintah yang
difokuskan pada wilayah tersebut dan dilemparnya wacana pemindahan ibukota jawa
barat dari Bandung ke Cirebon.
Kembali mencuatnya wacana pembentukan provinsi
Cirebon ini membuat beberapa kepala daerah Ciayumajakuning mulai mengambil
sikap. Bupati Majalengka dengan alasan kuat menolak untuk bergabung dalam kerangka
Provinsi Cirebon. Menyusul kemudian Bupati Kuningan pun turut menyatakan bahwa
Kuningan tetap merupakan bagian dari Jawa Barat dan menyampaikan sikap yang
sama dengan bupati Majalengka.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah
pembentukan provinsi Cirebon ini benar-benar muncul dari sebuah kebutuhan
masyarakat ataukah hanya untuk kepentingan segelintir orang? Penolakan para
bupati tersebut justru membuat masyarakat bisa melihat bahwa wacana tersebut
berjalan dengan pincang, direncanakan akan memiliki daerah seputaran
Ciayumajakuning namun pemerintah Majakuning ternyata malah menyatakan
penolakannya. Tinggal daerah Ayu atau Indramayu yang belum secara resmi
menyatakan sikapnya, Bupati Indramayu yang notabene adalah istri dari salah
satu calon Gubernur Jabar ini tidak akan gegabah dalam mengambil sikap
mengingat posisi suaminya saat ini, beliau akan berhati-hati dalam mengambil
sikap agar tidak menjadi boomerang
bagi suaminya.
Dalam
UU No. 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang
direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007, Syarat cakupan wilayah untuk pembentukan Provinsi baru minimal terdiri dari 5 Kabupaten/Kota. Jika kita mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut, maka dengan atau tanpa bergabungnya Indramayu dalam Provinsi Cirebon syarat tersebut belum tercapai. Sehingga harapan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) ini masih membutuhkan kerja ekstra untuk meyakinkan kepala daerah sekeliling kab/kota Cirebon untuk mendukung wacana tersebut. Membentuk sebuah daerah otonom baru tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak semudah mulut berbicara , tidak semudah kaki melangkah, tidak semudah mata melihat benda, dan tidak semudah kulit merasakan suhu.
Pernyataan sikap pemerintah daerah sekeliling
kab/kota Cirebon itu baru sebagian kecil dari penolakan yang dialami oleh
wacana ini, di dalam wilayah Cirebon sendiri tidak semua tokoh dan masyarakat
Cirebon setuju pada wacana ini. Oleh karena itu semoga wacana pembentukan
Provinsi Cirebon ini benar-benar muncul karena ketulusan dan keikhlasan hati
untuk membangun Cirebon bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang
yang menginginkan posisi dan jabatan belaka dalam provinsi ini jika kelak
berdiri. Jangan pula karena mereka tidak punya tempat atau posisi dalam
pemerintahan Jabar mereka mengorbankan kepentingan masyarakat. “Apabila
sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya”
(HR. Bukhari)
direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007, Syarat cakupan wilayah untuk pembentukan Provinsi baru minimal terdiri dari 5 Kabupaten/Kota. Jika kita mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut, maka dengan atau tanpa bergabungnya Indramayu dalam Provinsi Cirebon syarat tersebut belum tercapai. Sehingga harapan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) ini masih membutuhkan kerja ekstra untuk meyakinkan kepala daerah sekeliling kab/kota Cirebon untuk mendukung wacana tersebut. Membentuk sebuah daerah otonom baru tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak semudah mulut berbicara , tidak semudah kaki melangkah, tidak semudah mata melihat benda, dan tidak semudah kulit merasakan suhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar