Selasa, 11 Desember 2012

HAM (Harapan Aspirasi Masyarakat)

oleh Dudih Sutrisman

Desingan peluru kini cerita lama....
negeri damai sudah di depan mata
tapi apa benar begitu??

damai...merdeka itu sebabnya
asa sepanjang masa...
bagi kesederajatan hidup
serta kehidupan sejahtera

tirani telah terkubur
diktator hanya kiasan sejarah
tapi mengapa?
para pemimpin bertindak demikian...

tindakan layaknya para diktator
suara keras, suara pedih rakyat sendiri
seakan menjadi angin lalu bagi mereka
yang terlena akan kuasa semata

harapan aspirasi masyarakat
seakan menjadi barang mahal
yang layak didengar priyayi
penguasa negeri yang memimpin

ketika demokrasi hanya slogan
ketika kebebasan hanya angan semata
ketika reformasi penuh tanda tanya
mau kemana negeri ini....

sepanjang Harapan Aspirasi Masyarakat belum tersalurkan......

Selasa, 17 April 2012

EKSISTENSI SUMEDANG DI ERA REFORMASI


EKSISTENSI SUMEDANG DI ERA REFORMASI
(Refleksi Menjelang Hari Jadi Kabupaten Sumedang Ke-434)
Oleh Dudih Sutrisman

            Sumedang, sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Priangan Timur yang masuk ke dalam teritorial Provinsi Jawa Barat memiliki warna tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sumedang bisa dibilang adalah cikal bakal wilayah Provinsi Jawa Barat sekarang, bagaimana tidak, dalam sejarahnya Sumedang pernah memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi hamper seluruh wilayah Jawa Barat.
            Jauh sebelum umur Sumedang yang menjelang angka 434 tahun ini, nama daerah ini sudah mewarnai sejarah namun dengan nama yang agak sedikit berbeda. Yakni Kerajaan Sumedang Larang yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih. Nama Sumedang sendiri diberikan oleh Prabu Tadjimalela, keturunan Prabu Aji Putih. Dimana Prabu Tadjimalela pernah berkata Insun Medal, Insun Madangan yang artinya aku dilahirkan, aku menerangi. Kata Insun Medal tercetak dalam logo Pemerintah Kabupaten Sumedang saat ini. Cikal bakal nama Sumedang adalah dari kata “Insun Madangan” yang apabila diucapkan dengan nada cepat maka akan menghasilkan kata “Sunmadang”, seiring berjalannya waktu nama ini berubah kembali menjadi “Sumedang” dan dipakai sebagai nama kerajaan yang kelak menjadi penguasa jawa barat, itulah Kerajaan Sumedang Larang.
            Lalu darimana angka 434 tahun itu didapat jika ternyata Sumedang sudah berdiri jauh sebelumnya dan umurnya pun pasti lebih tua daripada angka yang disebutkan diatas? Mari kita telisik lebih jauh lagi. Pemerintah Sumedang yang telah melakukan kajian mendalam tentang hari jadi Sumedang bersama Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), tempat bernaungnya keturunan raja-raja Sumedang Larang dengan dibantu oleh para ahli sejarah sepakat mengakui bahwa Sumedang dilahirkan pada tanggal 22 April 1578 saat empat orang punggawa Kerajaan Pajajaran utusan Prabu Siliwangi menyerahkan Mahkota Binokasih dan pusaka kerajaan Pajajaran lainnya kepada Prabu Geusan Ulun, raja Sumedang Larang kala itu. Pada jaman kerajaan, penyerahan mahkota sebagai symbol raja dan kekuasaannya mengandung makna, bahwa kerajaan yang pusakanya diserahkan kepada kerajaan lain mengakui dan tunduk pada kerajaan yang diserahi mahkota dan pusaka tersebut. Sehingga dengan penyerahan pusaka Pajajaran kepada Raja Sumedang Larang berarti bahwa seluruh wilayah kerajaan Pajajaran menjadi wilayah Kerajaan Sumedang Larang, sehingga sejak saat itulah wilayah kerajaan Sumedang Larang meliputi sebagian besar wilayah Provinsi Jawa Barat saat ini.
            Era yang disebutkan diatas adalah masa kejayaan Sumedang hingga pada saat Pangeran Rangga Gempol mengakui kebesaran Kerajaan Mataram Islam dibawah pimpinan Sultan Agung Anyokrokusumo yang mengakhiri masa keemasan kerajaan Sumedang seiring dengan berubahnya sistem pemerintahannya sebagai sebuah Kabupaten yang wilayahnya pun menyusut tajam, bukan Kerajaan lagi, namun masih dipimpin oleh keturunan Raja Sumedang Larang hingga tahun 1946, kala akhir pemerintahan bupati Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (Dalem Aria) yang menutup era pemerintahan bupati Sumedang keturunan raja-raja Sumedang.
            Sumedang yang terkenal sebagai kota Tahu, pernah memiliki catatan dan pengaruh besar dalam dunia politik di masa silam. Sumedang pun produktif menghasilkan orang-orang besar yang pernah menduduki posisi penting di negeri ini. Siapa yang tak kenal Umar Wirahadikusumah? Beliau adalah wakil Presiden pada era Orde Baru dan beliau kelahiran Situraja,. Sumedang. Beliau adalah salah satu potret inohong asal Sumedang.
            Sumedang pun memiliki banyak tokoh yang berkecimpung di berbagai bidang. Di bidang entertainment orang mengenal nama-nama kelahiran Sumedang seperti almarhum Kusmayatna Kusumadinata (Kang Ibing), Sri Rossa Rosliani Handiyani (Rossa), dan masih banyak lagi. Jika ditarik lebih dalam lagi, Sumedang adalah daerah kelahiran banyak tokoh akademisi intelektual kampus yang rata-rata sudah bergelar sebagai Guru Besar atau professor di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia.
            Dengan berbagai potensi yang ada, Sumedang seharusnya mampu memiliki pemimpin asal daerah tersebut. Mengingat bupati Sumedang saat ini bukanlah orang Sumedang. Memang diakui saat era Reformasi, Sumedang yang melaksanakan Pemilu demokratis pertama pada tahun 2003 saat bupati H. Misbach habis masa jabatannya belum memiliki figur daerah yang dianggap mampu menjadi kepala daerah Sumedang sehingga banyak calon yang maju adalah bukan orang Sumedang itu sendiri..
            Seiring berjalannya waktu, tatkala digagasnya “Sumedang Puseur Budaya Sunda” yang menonjolkan nilai-nilai kesundaan dan kedaerahan, muncullah wacana mengenai putra daerah. Pemilu 2008, diwarnai oleh banyaknya putra daerah yang maju sebagai calon bupati namun tetap dimenangi oleh incumbent yang notabene bukan putra daerah namun dapat memenangi pemilu dengan mesin parpolnya yang cukup efektif. Gagasan “Sumedang Puseur Budaya Sunda” yang memiliki nilai filosofis tinggi secara tidak langsung telah menumbuhkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki dalam jiwa masyarakat pada umumnya dan generasi muda Sumedang dimanapun berada pada khususnya.
            Generasi muda Sumedang saat ini mulai menggeliat dalam berbagai bidang. Semakin banyak organisasi kepemudaan yang muncul dengan mengusung tema memajukan Sumedang. Yang patut diacungi jempol dan disambut positif adalah munculnya organisasi yang digagas oleh kalangan pemimpin OSIS di Sumedang dengan nama Forum OSIS Sumedang (FOS) yang kemudian bermetamorfosis menjadi Persatuan OSIS Sumedang Tandang (POST) yang sudah mulai mampu berbicara banyak sampai ke kancah nasional dengan turut andilnya organisasi ini dalam pembentukan Forum OSIS Nasional (FON) yang dideklarasikan di Universitas Indonesia. POST ini banyak melakukan kegiatan yang pada intinya melatih para pelajar di Sumedang mengenai Softskill yang akan dibutuhkan di masa yang akan datang untuk turut membangun Sumedang sesuai dengan jargonnya “Sumedang butuh kami untuk berubah Di kalangan kampus sendiri mulai banyak organisasi ekstra kampus untuk mahasiswa asal Sumedang dibentuk. Kesemuanya adalah bukti bahwa generasi muda Sumedang mampu memberikan harapan besar bagi kemajuan Sumedang di masa yang akan datang.
            Sumedang yang produktif dalam hal Sumber Daya Manusianya dan didukung oleh potensi Sumber Daya Alamnya yang melimpah serta kondisi perekonomian, dan keamanannya yang stabil seharusnya mampu berbicara lebih banyak lagi dalam kancah regional sebagaimana layaknya dulu Sumedang disegani oleh daerah lain. Dengan keteguhan, kemantapan, kemauan dan loyalitas yang tinggi dari generasi muda Sumedang yang suatu saat akan menggantikan tongkat estafet kepemimpinan Sumedang di masa yang akan datang maka kita harus yakin bahwa Sumedang BISA sejajar dan bahkan melampaui prestasi daerah lain dalam segala bidang sebagai daerah otonom yang maju.

Dirgahayu Kabupaten Sumedang ke-434 Tahun

Sabtu, 14 April 2012

IRONI PUDARNYA PANCASILA DI ERA REFORMASI PADA GENERASI MUDA


IRONI PUDARNYA PANCASILA DI ERA REFORMASI 
PADA GENERASI MUDA
Oleh Dudih Sutrisman

“ideologi yang bisa terus eksis adalah ideologi yang bisa menempatkan kepentingan nasional tanpa ikut terpengaruh nilai-nilai asing dari ideologi lain yang datang melalui informasi global seperti siaran televisi, internet atau pertukaran jasa dan barang lainnya”.
(Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D., mantan Menteri Penerangan)

Sebagai sebuah Negara, Indonesia juga pastilah memiliki ideology. Ideology negeri ini adalah lima sila yang kita sebut sebagai pancasila. Pancasila selain sebagai sebuah ideology juga merupakan sebuah falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun yang perlu dikritisi adalah sejauh mana pemahaman para generasi muda negeri ini akan ideology tersebut. banyak fakta menyebutkan bahwa telah terjadi krisis pemahaman akan pancasila di kalangan generasi muda saat ini yang hidup pada era globalisasi dengan segala teknologi dan kemudahannya bagaimana tidak, pola pikir dan gaya hidup mereka semakin hari semakin tak menampakkan bahwa mereka berpedoman pada pancasila, bias dibayangkan bagaimana sedihnya para Founding Father negeri ini jika mengetahui hal itu terjadi pada generasi yang dianalogikan oleh Ir. Soekarno sebagai generasi yang menyimpan harapan besar baginya sebagaimana beliau pernah berucap “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!”. Namun kini semua itu seakan jauh dari harapan, para generasi muda kini mulai pudar jiwa pancasilanya. Bahkan banyak diantara mereka yang kini mulai mempertanyakan pancasila dan menganggap bahwa pancasila sudah usang sebab pancasila dianggap identic dengan orde baru dimana memang ketika orde baru berkuasa, upaya indoktrinasi pancasila begitu gencarnya dilakukan kepada masyarakat luas namun itu pun dengan tujuan penanaman nilai-nilai pancasila untuk keperluan pembangunan nasional indonesia.
Pola pemikiran yang demikian haruslah segera diubah sesegera mungkin, pemikiran yang beranggapan bahwa pancasila adalah identik dengan orde baru harus segera dihapus dari pemikiran mereka. Bagaimana tidak, pancasila bukanlah sebuah produk orde baru namun pancasila adalah suatu pemikiran panjang yang didasarkan pada berbagai aspek menyeluruh dari kausa materialis dilihat dari segi sejarah dan humaniora jauh sebelum Negara bernama Indonesia berdiri pada tahun 1945. Sila-sila yang terdapat dalam pancasila mengandung makna filosofis yang sangat mendalam, bunyi sila-sila tersebut sangat sederhana namun apabila kita cermati lebih dalam lagi maknanya tidaklah sesederhana bunyinya. Ambil sebagai contoh adalah sila pertama yang tentu merupakan sila kunci untuk sila yang lainnya dengan bunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kata demikian mengandung arti bahwa Indonesia mengakui akan adanya kekuatan, kekuasaan Dzat yang Maha Segalanya, dengan kata lain Indonesia mengakui agama yang dianut oleh masing-masing warganegaranya. Dan kata demikian memberikan gambaran kepada khalayak bahwa Negara ini tidak berdiri di atas landasan suatu agama tertentu dengan tidak adanya embel-embel nama agama tertentu dalam kalimat sila tersebut, demikian pula halnya untuk sila yang lainnya
Lalu upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma negative mengenai pancasila utamanya pada generasi muda? Pertanyaan tersebut selalu terbayang juga mungkin dibenak para pembaca sekalian. Nah, mari kita refleksikan kembali dengan kita berpikir sejak kapankah perubahan paradigma tersebut mulai tampak, kita akan menemukan benang merahnya pada suatu gerakan yang menuntut perubahan menyeluruh di negeri ini pada beberapa tahun silam, yakni gerakan reformasi. Sejak tumbangnya orde baru pada 1998, orang-orang menyuarakan anti Soeharto dan antek Orde Barunya namun hal itu ternyata turut berimbas pada paradigma massa terhadap Pancasila yang kerapkali digunakan oleh pemerintah Orde Baru sebagai alat untuk mewujudkan pembangunan nasional. Ditambah lagi oleh kurikulum pendidikan nasional yang kala itu secara bertahap menghilangkan nama Pancasila dalam salah satu mata pelajaran pokok yang bernama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau kala upaya doktrinasi pancasila mulai digalakkan pemerintah orba untuk mengindonesiakan orang Indonesia bernama Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn). Bahkan kini pelajaran itu bernama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tanpa embel-embel Pancasila dibelakangnya. Materi kurikulum nya pun sudah mulai berubah, dahulu ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) kita mempelajari akan bagaimana budi pekerti yang baik, musyawarah yang baik dan masih banyak lagi yang merupakan implementasi nyata dalam kehidupan kelak dari sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut namun kini materinya hanya sebatas pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan politik kenegaraan dan hukum.
Melihat realita yang ada tersebut alangkah lebih baiknya pemerintah kembali menggalakkan semangat Pancasila, tanamkan pada seluruh warganya akan nilai-nilai luhur Pancasila mulai dari yang terkecil sekalipun karena biar bagaimanapun juga Pancasila adalah soko guru dari segala aspek dalam kehidupan negeri ini. Jangan sampai Pancasila tidak memiliki ruang lagi dalam benak dan jiwa bangsa ini jika berlanjut, mau dibawa kemana negeri ini?

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
(Ir. Soekarno, Proklamator Republik Indonesia)

Jumat, 13 April 2012

DEMOCRACY ATAU DEMOCRAZY?

DEMOCRACY ATAU DEMOCRAZY?
Oleh Dudih Sutrisman

        Dunia pada era modern ini mulai menggaungkan suatu sistem yang bernama Demokrasi, sistem yang memberikan kebebasan pada warganegara untuk dapat berekspresi dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya. Apa itu Demokrasi?? Demokrasi adalah suatu gagasan, pandangan hidup, yang memperhatikan kesamaan hak, kewajiban, dan tingkah laku setiap warga bernegara. Disisi lain, demokrasi juga sering diartikan sebagai suatu system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Masih ingat dalam bayangan kita bagaimana dahulu rakyat Indonesia merindukan akan suatu kebebasan saat sebuah rezim yang didominasi militer dengan tindakan represifnya menguasai dunia politik Indonesia dengan Labeling Orde Baru, rakyat begitu berharap suatu saat akan dating masa kebebasan itu. Masa yang ditunggu itu akhirnya tiba, 21 Mei 1998, pemerintahan rezim Orba akhirnya runtuh oleh gerakan mahasiswa yang mewakili aspirasi rakyat yang menginginkan kebebasan, rezim berganti, menyongsong sebuah era pengharapan bagi rakyat, atas nama Reformasi semua sistem yang telah dibengkokkan diupayakan lurus kembali. Pada masa itu, gerakan mahasiswa masih orisinil berada di garis terdepan membela kepentingan rakyat tanpa pengaruh dari lembaga politik manapun yang memancing di air keruh. Namun kita tak dapat menyangkal juga bahwa diantara para tokoh pergerakan mahasiswa pada era reformasi kini atau saat ini mereka duduk di kursi empuk parlemen sebagai anggota DPR/MPR RI dan beberapa diantara mereka malah tersandung kasus.
            Parlemen jalanan yang dianggap berhasil mengantarkan demokrasi ke Negara Indonesia kini seolah-olah menjadi bunga harum yang selalu dicium oleh pemujanya. Atas nama demokrasi, kini banyak yang melakukan upaya protes yang tak jarang malah merugikan kepentingan orang banyak. Demonstrasi yang merupakan salah satu upaya untuk mengemukakan pendapat dimuka umum yang notabene adalah salah satu poin dalam hal yang dijamin oleh sistem demokrasi.
        Yang menjadi permasalahan saat ini, apakah upaya yang mereka lakukan masih atas dasar idealismenya untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat tanpa adanya unsur dan maksud terselubung dari apa yang mereka lakukan? Jawabannya sampai saat ini belum menemukan kepastian namun hal itu patut menjadi bahan untuk perbincangan beragam pihak dari berbagai unsur. Kita sering mengamati bahwa demonstrasi yang mereka lakukan yang katanya “membela kepentingan rakyat yang tertindas” justru malah mempersulit dan memperkeruh keadaan, bagaimana tidak, kita bisa lihat baru-baru ini, bagaimana para demonstran melakukan aksinya dibarengi dengan aksi anarkis yang merugikan kepentingan orang banyak. Apakah anarkis itu di dukung oleh demokrasi? Jawabannya adalah tentu TIDAK, sebab dilihat dari segi mana pun kita tidak akan melihat bahwa anarkis merupakan salah satu cara dalam demokrasi. Jawaban yang menurut mereka disebutkan bahwa mereka menjadi anarkis adalah karena adanya upaya represif dari pihak keamanan terhadap aksi yang mereka lancarkan. Secara logika, pihak keamanan dalam hal ini adalah kepolisian yang didukung oleh tenaga militer (TNI) tidak akan melakukan suatu tindakan keras (yang menurut mereka Represif) jika dari pihak demonstran sendiri tidak melakukan perbuatan yang akan berimbas pada ketertiban umum, mereka akan bertindak keras jika aturan yang ada telah dilanggar oleh pihak yang sedang melakukan demonstrasi.
            Kita pun kini sering melihat bahwa banyak oknum mahasiswa yang kini telah diracuni oleh doktrin-doktrin dari pihak yang ingin mengambil keuntungan dari suara mahasiswa yang selama ini dikenal vocal dan kritis. Sebagai sebuah kekuatan, keterlibatan mahasiswa dalam upaya Reformasi pada 1998 silam merupakan salah satu buktinya. Sebagai agent of change atau agen perubahan, mahasiswa memang dituntut untuk kritis terhadap permasalahan social yang muncul di sekitar kehidupan masyarakat namun disini telah terjadi kesalahpahaman mengenai konsep demokrasi.
     Melihat karut marut wajah negeri ini yang segala hal kini mengatasnamakan Demokrasi, kita haruslah meninjau ulang, demokrasi seperti apa yang ideal itu? Jangan sampai alih-alih ,mengatasnamakan demokrasi atau Democracy malah Democrazy lah yang terjadi.

Referensi :
Alfansuri, Hamdi. Demokrasi atau Demonstrasi?. [online]. Tersedia:http://politik.kompasiana.com/2012/04/08/demokrasi-atau-demontrasi/ [9 April 2012]