Minggu, 06 Januari 2013

SUMEDANG, PILKADA DAN LINGKUNGAN


Oleh Dudih Sutrisman

Insun Medal, Insun Madangan
Kaula Bijil Nyaangan
Ceuk Uga Sumedang teh ngarangrangan
Kiwari Sirungan Deui
(Petikan Sajak Dalam Buku “Sajarah Sumedang” karya E. Kosmajadi)

            Pemilihan Kepala Daerah atau dikenal sebagai Pilkada merupakan sebuah pesta demokrasi paripurna bagi rakyat suatu daerah untuk memilih secara langsung kepala daerah tersebut. Otonomi Daerah atau pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah merupakan sebuah sistem yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada daerah untuk menggali setiap potensi dan mengelola segala hal untuk kepentingan daerah tersebut.
            Sistem demikian merupakan sebuah efek dari cita-cita reformasi yang mengkritisi sistem sentralisasi yang diterapkan pada jaman orde baru. Dengan adanya otonomi daerah, keran kebebasan dibuka seluas-luasnya, orang berbondong-bondong mendaftarkan dirinya untuk menjadi kepala daerah terlepas dari motif yang melatarbelakanginya.
            Otonomi daerah membuat daerah yang bersangkutan memiliki hak untuk mengatur daerahnya dengan alasan demi pembangunan. Namun apa yang terjadi saat ini? Otonomi daerah membuat para kepala daerah tak segan-segan untuk membuka banyak keran yang mendatangkan pendapatan bagi daerahnya sekalipun itu harus mengorbankan lingkungan hidup.
            Sumedang adalah salah satu daerah otonom yang kini harus mengalami degradasi lingkungan. Alam nan asri yang dulu merupakan ciri khas sumedang dengan kehijauan alam, kesejukan, keteduhan lingkungannya kini hanya sekadar cerita. Udara panas nan menyengat, pantulan sinar matahari nan menyilaukan, dan penurunan kualitas udara menjadi cerita yang banyak beredar saat ini. Bhoemi Sumedang Larang, pewaris kerajaan Sunda Pajajaran ini sedang menyiapkan sebuah pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah yang baru. Kepemimpinan bupati Don Murdono akan segera berakhir, periode 2008-2013 merupakan periode kedua jabatan beliau sehingga beliau dipastikan tidak akan dapat maju kembali.
            Bak kue manis yang menggiurkan, pada pilkada sumedang ini banyak orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai calon bupati sumedang dengan beragam slogan yang dibuat untuk meyakinkan para pemilih dan dengan beragam pose yang dinilai bisa menjual dan mengangkat popularitasnya. Beberapa diantaranya terdapat nama pemain lama yang pernah bertarung dalam pilkada sebelumnya.
Namun dari semua calon tersebut penulis rasa belum ada satu pun yang concern pada isu kerusakan lingkungan, belum ada yang mengusung perbaikan lingkungan yang ada malah menjanjikan beragam program yang berfokus pada perbaikan sector non-lingkungan.
            Beberapa waktu yang lalu, sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan sebuah program acara yang mengupas secara mendalam kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabupaten sumedang. Mengambil lokasi di kawasan pertambangan pasir yang sudah semakin besar cakupan wilayah dan lubang tambangnya. Acara demikian membuktikan bahwa perubahan lingkungan di Sumedang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sumedang melainkan juga dirasakan oleh orang luar daerah.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi besar-besaran pertambangan pasir ini memberikan dampak sistemik terhadap sektor lainnya, infrastruktur jalan di Sumedang sudah sangat buruk bahkan jalan di depan gedung pusat pemerintahan Sumedang pun mengalami kerusakan sangat parah akibat lalu lintas kendaraan besar pengangkut pasir dengan tonase yang diluar batas kekuatan aspal jalan tersebut, beragam penyakit ISPA pun mengintai masyarakat Sumedang akibat debu pasir yang beterbangan.
            Jika kita berbicara tentang pemasukan daerah, maka bisa dijawab bahwa diakui, usaha pertambangan itu memberikan pemasukan yang besar pada kas daerah. Namun apakah sebanding dengan dampak yang ditimbulkan? Jawabannya adalah Tidak! Percuma saja apabila pemasukan besar, namun biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi dampak yang diakibatkannya juga besar pula.
            Momentum Pemilihan Kepala Daerah Sumedang yang akan dilaksanakan pada tahun 2013 haruslah menjadi titik balik bagi Sumedang untuk menggelorakan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan, perbaiki lingkungan alam sumedang yang sudah rusak ini, buat para pendiri Sumedang tersenyum melihat Sumedang rindang dan hijau kembali. Siapapun itu Bupati sumedang yang terpilih kelak, hendaklah menjadi tokoh yang mampu melakukan perubahan konsep dasar pembangunan di sumedang sehingga lebih berorientasi pada lingkungan bukan pada profit semata. Yakinilah bahwa apabila lingkungan sudah baik, maka segala aspek yang ingin dicapai pun akan terlaksana dengan baik. Ayo Perbaiki Lingkungan dan Hentikan Perusakan Lingkungan!

Pangagung jeung rahayatna runtut raut sauyunan
Dina ngudag kamajuan
Singkil sabilulungan ngalaksanakeun pangwangunan
Bari nyekel deleg agama jeung darigama
Dibarung jejer: “ Sumedang Tandang Nyandang Kahayang”
(Petikan Sajak Dalam Buku “Sajarah Sumedang” karya E. Kosmajadi)

Sabtu, 05 Januari 2013

Provinsi Cirebon, Sebuah Dilematis


Oleh Dudih Sutrisman

“Memang politik menyangkut hidup kita, tapi tak boleh menenggelamkan kita”
(Goenawan Mohamad)

Cirebon sebuah kota di pantai utara jawa yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana merupakan sebuah kota pantai yang unik, dilihat dari sisi kebudayaan dan kultur masyarakatnya. Sebagai salah satu wilayah dalam provinsi Jawa Barat yang memiliki budaya yang khas dan berbeda dengan budaya masyarakat jawa barat lainnya yang kuat kultur kesundaannya, Cirebon punya budaya dan bahasa tersendiri mengingat wilayahnya yang merupakan perbatasan antara wilayah berbudaya Sunda dengan wilayah berbudaya Jawa.
Di Cirebon pula budaya keraton masih kuat dimana eksistensi Keraton-keraton eks-kesultanan Cirebon dimasa lalu masih mengakar pada budaya politik dan sosial masyarakatnya. Keunikan yang dimiliki kota ini menjadi nilai plus bagi sektor pariwisatanya.
Keunikan tersebut ternyata tidak membuat segelintir orang Cirebon serta merta merasa diperhatikan oleh pemerintah Jawa Barat dalam hal pembangunan. Namun jika dibandingkan dengan daerah jawa barat lainnya, kita dapat melihat fakta bahwa perkembangan Cirebon cukup signifikan dalam segi pembangunan sebagai sebuah kota besar di Jawa Barat.
Sebagai bagian dari Jawa Barat, Cirebon pun turut berdinamika dalam pesta demokrasi rakyat Jabar yakni Pemilihan Gubernur Jabar yang akan dilaksanakan pada 2013 mendatang. Parpol sudah mengumumkan para jagonya, KPU pun sudah menutup pendaftarannya, banyak nama tersingkir dalam bursa cagub-cawagub ini akibat tidak mendapatkan rekomendasi dari parpolnya. Dedi Supardi adalah salah satu dari Cagub yang gagal bertarung dalam pilgub jabar, setelah parpolnya ketuk palu merekomendasikan calon lain untuk maju menjadi Jabar satu.
Tersingkirnya Dedi Supardi yang merupakan Bupati Cirebon ini ternyata kembali menguak wacana pembentukan Provinsi Cirebon, dimana beliau menegaskan bahwa ia akan memfokuskan dirinya pada pembentukan provinsi Cirebon pasca kegagalannya bertarung dalam pilgub jabar. Provinsi Cirebon yang dalam masterplan-nya akan mencakup wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning) ini merupakan sebuah wacana yang sempat santer terdengar dan menjadi headline media massa lokal Jawa Barat namun meredup seiring dengan beragam program pembangunan pemerintah yang difokuskan pada wilayah tersebut dan dilemparnya wacana pemindahan ibukota jawa barat dari Bandung ke Cirebon.
Kembali mencuatnya wacana pembentukan provinsi Cirebon ini membuat beberapa kepala daerah Ciayumajakuning mulai mengambil sikap. Bupati Majalengka dengan alasan kuat menolak untuk bergabung dalam kerangka Provinsi Cirebon. Menyusul kemudian Bupati Kuningan pun turut menyatakan bahwa Kuningan tetap merupakan bagian dari Jawa Barat dan menyampaikan sikap yang sama dengan bupati Majalengka.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah pembentukan provinsi Cirebon ini benar-benar muncul dari sebuah kebutuhan masyarakat ataukah hanya untuk kepentingan segelintir orang? Penolakan para bupati tersebut justru membuat masyarakat bisa melihat bahwa wacana tersebut berjalan dengan pincang, direncanakan akan memiliki daerah seputaran Ciayumajakuning namun pemerintah Majakuning ternyata malah menyatakan penolakannya. Tinggal daerah Ayu atau Indramayu yang belum secara resmi menyatakan sikapnya, Bupati Indramayu yang notabene adalah istri dari salah satu calon Gubernur Jabar ini tidak akan gegabah dalam mengambil sikap mengingat posisi suaminya saat ini, beliau akan berhati-hati dalam mengambil sikap agar tidak menjadi boomerang bagi suaminya.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang
direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007, Syarat cakupan wilayah untuk pembentukan Provinsi baru minimal terdiri dari 5 Kabupaten/Kota. Jika kita mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut, maka dengan atau tanpa bergabungnya Indramayu dalam Provinsi Cirebon syarat tersebut belum tercapai. Sehingga harapan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) ini masih membutuhkan kerja ekstra untuk meyakinkan kepala daerah sekeliling kab/kota Cirebon untuk mendukung wacana tersebut. Membentuk sebuah daerah otonom baru tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak semudah mulut berbicara , tidak semudah kaki melangkah, tidak semudah mata melihat benda, dan tidak semudah kulit merasakan suhu.
Pernyataan sikap pemerintah daerah sekeliling kab/kota Cirebon itu baru sebagian kecil dari penolakan yang dialami oleh wacana ini, di dalam wilayah Cirebon sendiri tidak semua tokoh dan masyarakat Cirebon setuju pada wacana ini. Oleh karena itu semoga wacana pembentukan Provinsi Cirebon ini benar-benar muncul karena ketulusan dan keikhlasan hati untuk membangun Cirebon bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang yang menginginkan posisi dan jabatan belaka dalam provinsi ini jika kelak berdiri. Jangan pula karena mereka tidak punya tempat atau posisi dalam pemerintahan Jabar mereka mengorbankan kepentingan masyarakat. “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari)

Jumat, 04 Januari 2013

MEMBANGUN MASYARAKAT JASA SUMEDANG BERBASIS BUDAYA


Oleh Dudih Sutrisman
Kabupaten Sumedang, sebuah wilayah yang terletak di wilayah Priangan Timur yang masuk ke dalam teritorial Provinsi Jawa Barat memiliki warna tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sumedang boleh dibilang adalah cikal bakal wilayah Provinsi Jawa Barat sekarang, bagaimana tidak, dalam sejarahnya Sumedang pernah memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Dengan catatan sejarahnya itulah maka kultur budaya sunda melekat sebagai identitas masyarakat sumedang yang dimasa silam adalah pewaris kerajaan sunda. Konsep Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) yang digaungkan pemerintah daerah sumedang sudah sepantasnya mendapat apresiasi dari seluruh lapisan masyarakat. Konsep demikian sampai saat ini hanya berupa slogan dengan kegiatan formalitas semata, tidak dengan upaya aplikasi nyata dalam kultur kehidupan masyarakat sumedang.
Sumedang memiliki sejumlah tempat wisata andalan. Namun sayangnya, fasilitas dan infrastruktur yang ada diwilayah itu belum memadai dan fokus pemerintah belum maksimal ke sector wisata tersebut. Penyumbang pendapatan daerah terbesar sumedang disamping dari pajak juga didapat dari usaha pertambangan pasir yang marak di sejumlah wilayah sumedang utamanya di kaki gunung tampomas. Padahal dampak yang dihasilkan dari pertambangan itu juga cukup besar dan sistemik dimana sejumlah infrastruktur jalan di wilayah sumedang hancur akibat dilewati oleh truk-truk pasir dengan tonase yang melebihi batas kemampuan jalan tersebut dan masyarakat terganggu aktivitasnya akibat polusi tambang yang dihasilkan.
Hal demikian membuktikan bahwa konsep Sumedang Puseur Budaya Sunda belum diterapkan dalam kultur pembangunan di sumedang. Semestinya apabila benar-benar menyandang dan menjunjung tinggi budaya maka pembangunan yang ada selaras dengan pemeliharaan lingkungan alam bukan malah merusaknya. Bukti lain yang membuktikan ketidakkonsistenan pemerintah sumedang pada konsep itu adalah adanya pembangunan Saung Budaya Sumedang di Jatinangor yang pada awalnya dipersiapkan sebagai etalase budaya sumedang dimana disana akan ditampilkan beragam produk budaya sumedang. Sekarang saung itu malah bermetamorfosis menjadi wilayah komersial dengan beralih fungsi menjadi rumah makan dan sejenisnya.
Pembangunan jalan tol Cisumdawu yang melintasi wilayah Sumedang akan menjadi sebuah keuntungan tapi juga akan menjadi sebuah kerugian besar jika tidak diimbangi dengan kesiapan pembangunan di wilayah sumedang. Jalan tol tersebut pastinya akan mengurangi tingkat kepadatan kendaraan yang melintasi wilayah dalam kota sumedang, jika pemerintah sumedang tidak memiliki persiapan yang matang maka dapat dipastikan bahwa sumedang akan menjadi seperti kota mati.
Menurut penulis, tidak ada salahnya pemerintah sumedang melakukan inovasi terhadap konsep SPBS dengan benar-benar menerapkannya pada sector jasa pariwisata. Agar sumedang sumedang memperoleh keuntungan dari adanya jalan tol cisumdawu sudah selayaknya pemerintah memperhatikan sector pariwisata. Konsep wisatanya didesain sedemikian rupa sehingga nilai-nilai budaya sunda dapat ditampilkan pada wisatawan.
Tempat wisata di sumedang seperti kampong toga, nangorak, gunung kunci dan lain sebagainya baik itu wisata alam, wisata ziarah, wisata religi atau yang lainnya dikemas semenarik mungkin dengan dimaksimalkan pada sisi budayanya. Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah itu juga diberi penyuluhan dan pelatihan kepariwisataan dengan menekankan pada upaya penanaman sadar budaya sunda sehingga masyarakat di sana dapat memberikan kenyamanan bagi wisatawan yang datang dengan sikap karakter budaya sunda.
Pengembangan dan revitalisasi pariwisata sangat penting bagi sumedang, apabila sector pariwisata ini dikembangkan dengan baik maka akan menghasilkan lapangan kerja baru yang inovatif bagi masyarakat sumedang seperti lapangan kerja di bidang event organizer cultures, kerajinan tradisional, kesenian dan lain sebagainya. Dengan demikian konsep Sumedang Puseur Budaya Sunda akan menghasilkan Masyarakat Jasa Sumedang Berbasis Budaya. Tinggal niat dan progress dari pemda sumedang terhadap seperti ini yang akan mendukung dari aspek legalitas dan aspek lainnya.
Pembangunan jalan tol cisumdawu dan hajatan pilkada sumedang bisa dijadikan sebagai momentum untuk merealisasikan konsep sumedang puseur budaya sunda dengan menciptakan masyarakat sumedang yang maju dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur dari falsafah budaya sunda.