Oleh Dudih Sutrisman
Gerakan Mahasiswa adalah suatu nama
yang selalu mewarnai perjalanan politik negara Indonesia. Seperti kita ketahui
dalam sejarah kenegaraan, gerakan mahasiswa pernah muncul dan membahana tatkala
TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) sedang ramai-ramainya pada tahun 1960-an. Gerakan
Mahasiswa kerap ambil bagian dalam proses penggantian kepemimpinan nasional
yang kemudian mencapai titik klimaksnya pada 1998, saat tuntutan Reformasi
berkumandang.
Kini telah lewat dari 10 tahun, apa
yang terjadi pada pergerakan mahasiswa Indonesia pasca Reformasi? Mahasiswa
kembali ke kampusnya masing-masing dan pergerakan mahasiswa boleh dikatakan
agak melemah dengan segala permasalahan yang ada. Sangat jarang bagi kita untuk
dapat menyaksikan seluruh elemen mahasiswa melakukan suatu gerakan yang satu,
sebab mahasiswa kini sudah mulai disibukkan oleh tuntutan akademis semata.
Melemahnya pergerakan mahasiswa ini pun banyak
dilatarbelakangi oleh melemahnya budaya literasi di kalangan mahasiswa yang
pada akhirnya membuat kritisme pemikiran terhadap keadaan sekelilingnya pun
turut melemah. Budaya literasi yang dimaksud adalah Membaca, Menulis dan
Berdiskusi. Dengan membaca, baik itu dari media cetak maupun media online di
luar materi perkuliahan akan membuat khazanah pengetahuan bertambah serta akan
membuat aktivis tersebut mampu untuk mengolah pemikirannya. Aktivis yang baik
adalah aktivis yang mampu membaca fenomena-fenomena yang terjadi di
lingkungannya yang oleh orang lain tidak atau belum pernah terpikirkan
sebelumnya. Kritisme seorang aktivis akan berjalan jika aktivis tersebut mampu
membaca bahwa telah terjadi suatu ketidaksesuaian pada kebijakan yang
dikeluarkan oleh lembaga universitas maupun di luar universitas.
Setelah dirasa mampu untuk membaca keadaan, seorang
aktivis pergerakan mahasiswa semestinya mampu untuk menuangkan
pemikiran-pemikirannya ke dalam bentuk tulisan yang dapat dibaca oleh orang
lain di sekelilingnya sebagai upaya penyadaran pada khalayak umum terkait
dengan keadaan atau isu yang terjadi. Proses yang kerapkali disebut dengan
agitasi dan propaganda ini, menjadi suatu hal yang sangat penting manakala
sebuah permasalahan diangkat ke publik, sebab proses itu penting untuk
memberikan pemahaman kepada publik agar turut bersama ikut serta dalam upaya
yang telah ada dalam pemikiran poros gerakan mahasiswa tersebut. Beragam media
propaganda diefektifkan pada proses ini, tantangannya adalah, apakah orang akan
membaca propaganda kita itu? Yakinilah, suka atau tidak suka, sebuah ungkapan
berbicara bahwa “kemungkaran yang dilakukan lebih dari tiga kali maka akan
menjadi kebenaran”, dalam artian walaupun media propaganda itu kerap
ditertibkan oleh pihak kampus, namun propaganda itu terus disebar berkali-kali
maka publik akan membenarkan apa yang kita sampaikan.
Setelah muncul penyadaran dari publik terhadap suatu
permasalahan, maka sebuah diskusi adalah ajang berikutnya untuk memberikan
penguatan lebih mendalam terhadap publik agar publik turut serta dalam gerakan
yang kita lakukan. Dalam diskusi ini, kita datangkan pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya agar dapat dimunculkan sebuah diskusi yang objektif dengan melihat
dari berbagai sudut pandang hingga dapat dicapai solusinya. Yang perlu
ditekankan pada pencarian solusinya adalah konsep win-win solution dimana dicari solusi yang benar-benar menjadi
jalan tengah, hilangkan segala ego yang melekat agar dapat dicari solusi yang
demikian.
Jika hal tersebut diatas dapat dijalankan oleh para
aktivis mahasiswa, maka gerakan mahasiswa takkan pernah pudar dan terus
memiliki arti yang penting dalam dinamika kampus. Aktivis merupakan sekelompok
kecil saja dari jumlah keseluruhan mahasiswa kini dimana mayoritas mahasiswa
kini bersikap apatis. Namun harus pula kita yakini bahwa “Perubahan tidak
dilakukan oleh orang banyak, namun perubahan dilakukan oleh orang yang sedikit
namun mampu mempengaruhi orang banyak”. Walaupun jumlahnya sedikit namun mampu
memberikan upaya penyadaran kepada mahasiswa lainnya terhadap fenomena yang
terjadi.
Tanggung jawab dasar atau Basic Responsibility penting untuk dimiliki setiap organisasi
pergerakan mahasiswa, diantaranya adalah Kaderisasi, Pelayanan, dan Sosial
Kontrol. Sebuah organisasi pergerakan mahasiswa akan berakhir jika organisasi
tersebut gagal untuk mendidik para penerusnya, hal tersebut untuk menjaga agar
gerakan mahasiswa terus berdinamika dalam kehidupan masyarakat. Sebuah
kaderisasi yang baik adalah kaderisasi ideologis, dimana kaderisasi di sini
memberikan pemahaman mendasar terhadap para kadernya agar terus memperjuangkan
apa yang menjadi perjuangan organisasi bersangkutan. Namun yang perlu dirubah
dari sistem kaderisasi yang banyak diterapkan dewasa ini adalah, kurangi
kaderisasi yang memakai cara-cara keras seperti dengan bentak-bentakan dan
sebagainya sebab hal itu akan membuat para kader baru menjadi antipati terhadap
pergerakan organisasi tersebut dan tak jarang hanya menjadikan orang takut
bukan sadar akan pentingnya sebuah gerakan. Hal tersebut perlu dirubah menjadi
kaderisasi yang berlandaskan pada upaya penyadaran, pembukaan khazanah
pemikirannya agar mampu berpikir secara kritis serta mampu untuk membaca
fenomena-fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Jika hal itu mampu diwujudkan
maka niscaya, gerakan mahasiswa takkan pernah kehabisan kadernya.
Organisasi pergerakan mahasiswa pun
harus pula memberikan pelayanan kepada mahasiswa lainnya yang membutuhkan
upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh organisasi pergerakan mahasiswa. Hal itu
perlu dipahami betul, sebab pada hakekatnya organisasi pergerakan mahasiswa
merupakan representasi dari seluruh mahasiswa yang ada sehingga organisasi
pergerakan mahasiswa harus pula memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh para
mahasiswa, dimana organisasi menjadi jembatan dengan pihak rektorat dalam segi
pengambilan kebijakan. Diluar dirasakan atau tidaknya fungsi ini oleh seluruh
mahasiswa kembali lagi pada dirinya masing-masing, sebab sebuah pelayanan dapat
dirasakan jika yang bersangkutan memang benar-benar membutuhkan pelayanan, jika
tidak butuh pelayanan maka fungsi ini akan tidak dirasakan oleh yang
bersangkutan.
Selain kedua hal yang telah
disebutkan diatas, organisasi pergerakan mahasiswa harus mampu menjalankan Social Control terhadap segala kebijakan
yang dikeluarkan rektorat, dalam artian kebijakan yang dianggap merugikan
mahasiswa sepatutnya dapat dikritik dan ditentang, begitu pula sebaliknya
apabila dianggap mengakomodir mahasiswa maka sepatutnya untuk di dukung. Selain
itu organisasi pergerakan mahasiswa harus mampu untuk turut menjaga dinamika
gerakan mahasiswa di kampusnya agar tetap kokoh bersatu dalam satu harmoni.
Hal tersebut diatas dapat diwujudkan
oleh mahasiswa yang aktivis, lalu bagaimana caranya agar mahasiswa apatis mau
bergabung dalam poros gerakan? Mahasiswa apatis cenderung tidak menyukai
hal-hal yang berbau orasi atau hal semacam itu, namun ada cara yang dapat
dilakukan agar mahasiswa apatis mau untuk membuka pikirannya tentang suatu permasalahan
yakni dengan mengadakan suatu kegiatan yang bersifat hobisme dimana seluruh
elemen mahasiswa bergabung dalam kegiatan tersebut termasuk mahasiswa apatis,
baik itu dengan menjadi pelaksana ataupun hanya menjadi peserta. Hal tersebut
dilakukan untuk membuat para mahasiswa apatis mau membaur dengan kawan-kawannya
yang aktivis, dan mendengar informasi-informasi terkait dengan isu yang
diangkat oleh gerakan mahasiswa. Hal demikian disebut dengan Diversifikasi
Gerakan, yakni mengadakan kegiatan yang dapat mendatangkan banyak massa untuk
kemudian digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Jika kesemua hal tersebut mampu
dijalankan dengan baik maka yakinilah bahwa gerakan mahasiswa indonesia akan
bangkit dan berjaya kembali dan tetap memiliki Bargaining Position dengan para pemangku kebijakan. Inilah saatnya
bagi kita semua untuk membenahi organisasi pergerakan mahasiswa agar kembali
bertaji, sebab kemana arah bangsa ini akan berjalan ditentukan oleh para
generasinya saat ini. Gerakan mahasiswa harus memiliki landasan pemikiran yang
ideologis/mendasar dalam menyikapi segala permasalahan yang menghadang.
HIDUP
MAHASISWA!